Perubahan iklim merupakan salah satu masalah yang serius pada abad ke-21 ini. Para peneliti dan pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan ini dalam diskusi Intergovernmental Planet on Climate Change (IPCC) yang menyimpulkan bahwa perubahan iklim bukan merupakan proses alami, melainkan sebuah intervensi dari aktivitas manusia di muka bumi.[1] Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang cukup ramai dibicarakan belakangan ini karena dampak perubahan iklim tersebut sudah sangat dirasakan oleh setiap aspek kehidupan manusia, salah satunya sektor pertanian.
Sektor pertanian merupakan sektor utama yang menyerap banyak tenaga kerja, baik secara formal maupun informal. Namun, sektor ini akan sangat sensitif terkena dampak perubahan iklim karena sektor pertanian bertumpu pada siklus air dan cuaca untuk menjaga produktivitasnya. Sektor pertanian terdiri atas subsektor pertanian, perikanan, perkebunan, dan kehutanan. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan bahwa salah satu ancaman paling serius terhadap masa depan keberlanjutan ketahanan pangan adalah implikasi perubahan iklim.[2]
Sejak terjadinya perubahan iklim, peluang munculnya kejadian iklim ekstrem meningkat. Di sisi lain, manusia tidak dapat mengendalikan perilaku iklim. Oleh karena itu, secara teknis dan sosial ekonomi, tindakan yang layak ditempuh adalah memperkuat kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Untuk jangka menengah-panjang, adaptasi saja tidak cukup. Strategi yang dipandang tepat yaitu melakukan adaptasi dan mitigasi secara sinergis (IPCC, 2001; IPCC, 2007).[3] Dampak perubahan iklim terhadap pertanian bersifat langsung dan tidak langsung dan mencakup aspek biofisika dan sosial ekonomi. Perhatian terbesar dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian adalah munculnya kekhawatiran dengan kestabilan bahan pangan. Perubahan iklim akan menyebabkan kekeringan, penurunan air tanah, peningkatan suhu (pemanasan global), banjir, kekurangan kesuburan tanah, perubahan cuaca, dan lain-lain yang berisiko gagal panen dan kelaparan. Contohnya pada saat terjadi El Nino pada 1997 yang merusak 426.000 hektare sawah.[3]
Iklim berbeda dengan cuaca dikarenakan iklim berkaitan dengan perilaku cuaca jangka panjang, termasuk dinamikanya. Perubahan iklim dicirikan oleh berubahnya dinamika dan besaran dan atau intensitas unsur-unsur iklim yang cenderung menjadi lebih tinggi atau lebih rendah. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perubahan iklim terkait variasi radiasi matahari, deviasi orbit bumi, gerak lempeng tektonik, perilaku vulkanik, dan konsentrasi gas rumah kaca. Mengacu pada sejumlah besar hasil penelitian, sebagian besar pakar iklim internasional sepakat dengan kesimpulan bahwa penyebab perubahan iklim sangat terkait dengan aktivitas manusia (anthro-pogenics). Diyakini bahwa aktivitas manusia secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan komposisi atmosfer bumi berubah, antara lain terjadinya peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca (GRK) yang drastis.[4]
Menurut IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih). Selain itu juga diperjelas bahwa perubahan iklim mungkin terjadi karena proses alam internal maupun ada kekuatan eksternal, atau ulah manusia yang terus menerus mengubah komposisi atmosfer atau tata guna lahan.
Pertanian adalah manifestasi kebudayaan/peradaban manusia yang keberadaannya dewasa ini tidak lepas dari sejarah perkembangan kebudayaan/peradaban manusia sejak zaman purbakala. Kegiatan Belajar ini menguraikan tinjauan sejarah perkembangan pertanian di dunia dan sejarah perkembangan pertanian di Indonesia, sehingga pertanian Indonesia menjadi seperti yang ada sekarang. Perkembangan pertanian sangat erat kaitannya dengan perkembangan peradaban manusia. Ada baiknya kita mengenal beberapa model pertanian yang berhubungan dengan sejarah manusia. Perkembangan ilmu pertanian terapan yang pesat di negara maju telah menyebabkan terjadinya perbedaan yang makin besar dengan negara-negara sedang berkembang di dalam kemampuan memberi makan penduduknya. Hal ini disebabkan oleh adanya kesenjangan antara kenaikan efisiensi teknologi pertanian dengan kenaikan jumlah penduduk.[5]
Perlu adanya kerjasama antara ahli klimatologi dan ahli pertanian dalam membangun sektor pertanian. Iklim mempengaruhi produksi pangan, karena itu penerapan klimatologi pada pertanian adalah penting mengingat setiap jenis tanaman pada berbagai tingkat pertumbuhan memerlukan kondisi iklim berbeda-beda. Jelas bahwa salah satu tugas kemanusiaan ahli klimatologi adalah memberi bantuan tentang penerapan klimatologi setiap usaha produksi bahan pangan. Ternyata bahwa banyak pengetahuan klimatologi yang dapat diterapkan dalam praktek pertanian. Kita tidak perlu beranggapan bahwa penerapan klimatologi hanya merupakan ramalan cuaca dan iklim saja, tetapi kita harus memulai harus memulai memikirkan potensi yang terdapat di dalam perpaduan antara klimatologi dan pertanian.[6]
Kerjasama ahli klimatologi dan ahli pertanian akan dapat mengemukakan gagasan baru yang sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi nasional dan kesejahteraan bangsa. Sebagai contoh di Inggris serangan cacing hati pada ternak domba dan sapi ternyata dipengaruhi oleh kelembapan permukaan rumput selama musim panas, karena kondisi semacam ini yang memungkinkan perkembangan dari jenis siput sebagai binatang perantara, dan penyakit hati pada ternak tergantung pada adanya jenis siput ini. Dengan memperhatikan unsur-unsur iklim seperti curah hujan, jumlah hari hujan, dan penguapan maka dapat diperkirakan tingkat kelembapan dari rumput tersebut. Penerapan meteorology semacam ini menyangkut hal cukup penting; berdasarkan data cuaca masa lalu dapat memberikan saran untuk masa mendatang sehingga memungkinkan melakukan tindakan yang tepat untuk menghindari efek yang merugikan.[6] Dari contoh ini maka dapat disimpulkan bahwa penerapan klimatologi dalam pertanian masyarakat adanya perpaduan pemikiran antara ahli klimatologi dan ahli pertanian. Sebagian besar Negara di dunia sangat tertarik untuk mengetahui secara rinci kondisi iklim agar dapat menilai kemungkinan yang paling baik mengenai penggunaan lahan untuk pertanian. Beberapa fakta menunjukkan bahwa kegagalan dari hasil panen sekurang-kurangnya disebabkan oleh kondisi iklim yang diabaikan.
Tanaman sebagai makhluk hidup memerlukan panas dan ekonomi air yang khusus. Karena itu tanaman memberikan suatu reaksi pada iklim mikro di sekitarnya. Akan tetapi karena tanaman itu tumbuh menjadi besar, maka bentuk dan ukurannya berubah, sehingga mempengaruhi jumlah panas dan kelembapan tanah tempat tanaman berpijak dan mempengaruhi udara tempat tanaman berpijak dan mempengaruhi udara tempat tanaman membesar.Tentunya ada interaksi antara tanaman dan iklim. Pengaruh tanaman pada iklim lingkungan adalah menjadi penting dengan semakin besarnya tanaman dan semakin banyaknya jumlah rumpun tanaman. Pada mulanya tanaman hanya dipengaruhi oleh iklim mikro saja, namun kemudian lambat laun dipengaruhi oleh iklim meso dan iklim makro.[6]
Di dalam pertanian, kehutanan, dan perkebunan pemeliharaan pertama terhadap tanaman yang baru tumbuh adalah sangat penting karena tanaman muda masih lunak terutama peka terhadap kondisi iklim. Karena itu sebelum memperhatikan tanaman muda, perlu mengetahui lebih dulu iklim setempat agar dapat dicapai hasil yang maksimal. Ada hubungan yang erat antara pola iklim dengan distribusi tanaman sehingga beberapa klasifikasi iklim didasarkan pada dunia tumbuh- tumbuhan. Tanaman dipandang sebagai sesuatu yang kompleks dan peka terhadap pengaruh iklim misalnya pemanasan, kelembapan, penyinaran matahari, dan lain-lainnya. Tanpa unsur-unsur iklim ini, pada umumnya pertumbuhan tanaman akan bertahan, meskipun ada beberapa tanaman yang dapat menyesuaikan diri untuk tetap hidup dalam periode yang cukup lama jika kekurangan salah satu faktor tersebut diatas. Iklim tidak hanya mempengaruhi tanaman tetapi juga dipengaruhi oleh tanaman. Hutan yang lebat dapat menambah jumlah kelembapan udara melalui transpirasi. Bayangan dari pepohonan dapat mengurangi suhu udara sehingga penguapan menjadi kecil.Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman ialah curah hujan, suhu, angin, sinar matahari, kelembapan dan evapotranspirasi (penguapan + transpirasi).[6]
Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pertanian[sunting | sunting sumber]
Perubahan iklim diyakini akan berdampak buruk terhadap berbagai aspek kehidupan dan sektor pembangunan, terutama sektor pertanian dan dikhawatirkan akan mendatangkan masalah baru bagi keberlanjutan produksi pertanian, terutama tanaman pangan. Pada masa mendatang, pembangunan pertanian akan dihadapkan pada beberapa masalah serius, yaitu: 1) penurunan produktivitas dan pelandaian produksi yang tentunya membutuhkan inovasi teknologi untuk mengatasinya, 2) degradasi sumber daya lahan dan air yang mengakibatkan soil sickness, penurunan tingkat kesuburan, dan pencemaran, 3) variabilitas dan perubahan iklim yang mengakibatkan banjir dan kekeringan, serta 4) alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian.[7]
Perubahan iklim global berdampak nyata pada produksi tanaman pangan. Secara global, perubahan iklim diproyeksikan dapat menurunkan produksi tanaman, terutama di wilayah pertanian yang terletak di lintang rendah akan mengalami dampak negatif.[8] Dampak negatif tersebut dikarenakan wilayah lintang rendah memiliki suhu udara yang berada pada batas toleransi tanaman (di bawah 10 derajat celcius dan di atas 29 derajat celcius).[9]
Perubahan iklim merupakan proses alami yang bersifat tren yang terus-menerus dalam jangka panjang. Oleh karena itu, strategi antisipasi dan penyiapan teknologi adaptasi merupakan aspek kunci yang harus menjadi rencana strategis Kementerian Pertanian dalam rangka menyikapi perubahan iklim dan mengembangkan pertanian yang tahan (resilience) terhadap perubahan iklim. Besarnya dampak perubahan iklim terhadap pertanian sangat bergantung pada tingkat dan laju perubahan iklim di satu sisi serta sifat dan kelenturan sumber daya dan sistem produksi pertanian di sisi lain. Untuk itu, diperlukan berbagai penelitian dan pengkajian tentang perubahan iklim dan dampaknya terhadap sektor pertanian, baik sumber daya, infrastruktur, maupun sistem usaha tani/agribisnis dan ketahanan pangan nasional.[7]
Pada sektor pertanian, dampak langsung dan tidak langsung perubahan iklim dapat dipilah menjadi dua kategori yaitu:[3]
- Dampak biofisika antara lain mencakup: (a) efek fisiologis pada tanaman, hutan, dan ternak (kuantitas dan kualitas), (b) perubahan lahan, dan sumberdaya lahan dan air (kuantitas dan kualitas), (c) meningkatnya gangguan gulma dan penyakit, (d) pergeseran spasial dan temporal (a)-(c), (e) peningkatan permukaan air laut dan salinitas, (f) perubahan habitat biota laut, termasuk sumberdaya perikanan laut.
- Dampak sosial ekonomi antara lain mencakup: (a) turunnya produktivitas dan produksi, (b) penurunan marginal GDP sektor pertanian, (c) fluktuasi harga di pasar internasional, (d) perubahan distribusi geografis rejim perdagangan, (e) meningkatnya jumlah penduduk rawan pangan, dan (f) migrasi dan civil unrest.
Meskipun secara teknis sektor pertanian merupakan salah satu andalan aksi mitigasi perubahan iklim, namun sektor ini juga merupakan sektor paling rentan terhadap perubahan iklim.[10] Oleh karena sektor ini merupakan penghasil pangan maka ketahanan pangan rawan terhadap perubahan iklim. Dalam konteks agregat, dampak perubahan iklim terhadap produksi pangan terjadi melalui turunnya produktivitas dan atau luas panen. Produktivitas turun karena meningkatnya cekaman lingkungan (variabilitas iklim yang lebih besar) dan meningkatnya intensitas gangguan OPT mengakibatkan pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman tidak optimal. Penurunan luas panen terkait dengan meningkatnya persentase puso yang terjadi akibat kekeringan, banjir, ataupun gangguan OPT. Dalam jangka panjang, turunnya luas panen juga merupakan akibat dari penyusutan lahan pertanian akibat naiknya permukaan air laut. Dampak perubahan iklim terhadap produksi pangan terjadi melalui turunnya produktivitas dan luas panen. Turunnya produktivitas terkait dengan kondisi iklim makro dan iklim mikro yang kurang kondusif terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman (cekaman air dan suhu) dan meningkatnya organisme pengganggu tanaman. Penurunan luas panen terkait dengan puso yang terjadi akibat kekeringan dan banjir serta hilangnya sebagian lahan pertanian akibat naiknya paras muka air laut.[11]
Kerentanan Petani terhadap Perubahan Iklim[sunting | sunting sumber]
Aktivitas utama (core business) di sektor pertanian adalah usahatani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan maupun perikanan. Terkait karakteristik intrinsiknya, hampir semua cabang usahatani tersebut rentan terhadap variabilitas iklim yang tajam yang berdasarkan berbagai ramalan dinyatakan akan sering terjadi dalam era perubahan iklim. Oleh karena itu perubahan iklim disimpulkan merupakan salah satu ancaman paling serius terhadap keberlanjutan ketahanan pangan. Berpijak pada karakteristik iklim sebagai suatu sistem yang sifatnya global maka ruang lingkup dampak negatif perubahan iklim tidak eksklusif lokal, nasional, atau regional, tetapi bersifat global.[12][13]
Secara garis besar, kerentanan merupakan fungsi dari karakter, besaran, dan tingkat variasi iklim terhadap suatu sistem yang terdadah, sensitivitas sistem tersebut terhadap dadahan (exposure), dan kapasitas adaptasinya.[14] Kinerja usaha tani dipengaruhi oleh penguasaan sumberdaya dan kemampuan manajerial petani yakni kemampuan mengakumulasikan dan mendayagunakan pengetahuan, informasi, dan keterampilannya dalam mengalokasikan sumberdaya yang dikuasainya dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapai dalam berusaha tani. Sebagian dari pengetahuan tersebut diperoleh dari penyuluhan, belajar secara mandiri, dari petani lain, atau orang tuanya secara turun-temurun, dan dari sumber-sumber informasi lainnya. Oleh karena itu secara umum kelompok paling rentan terhadap risiko iklim (kekeringan, banjir, badai) adalah petani kecil. Untuk meningkatkan ketahanan petani menghadapi perubahan iklim diperlukan adanya dukungan yang memadai dari pemerintah.[11]
Meskipun bentuk ataupun tipenya bervariasi namun sasaran adaptasi terhadap perubahan iklim pada prinsipnya adalah meminimalkan kerentanan (vulnerability), membangun resiliensi, serta mengembangkan kemampuan memanfaatkan kesempatan yang menguntungkan dari situasi dan kondisi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.[15] Kerentanan adalah derajat mudah tidaknya terkenai, rusak, merugi, atau melemah eksistensinya. Berbeda dengan kerentanan, resiliensi mengacu pada kemampuan merancang untuk bertahan, pulih, atau bahkan berkembang dari kondisi yang tercipta dari akibat yang muncul terkait dengan perubahan iklim.[16] Kata kunci untuk menjawab tantangan tersebut adalah mengupayakan agar kerentanan petani terhadap kondisi iklim yang kurang kondusif dapat dikurangi. Dengan kata lain, petani harus dikondisikan menjadi lebih tahan, tangguh, dan lentur (resilience) untuk menghadapi perubahan iklim.
Dalam Lasco et al. (2011) dinyatakan bahwa secara umum tingkat kerentanan merupakan fungsi dari tingkat paparan (exposure), sensitivitas, dan kapasitas adaptasi (adaptive capacity including adaptation measures). Dalam jangka pendek, tingkat paparan dan sensitivitas sistem yang terkena paparan tersebut dapat diasumsikan tidak mudah diubah (given) sehingga fokus utama dalam strategi adaptasi adalah meningkatkan kapasitas adaptif petani (Lasco et al., 2011). Secara teoritis, jika strategi peningkatan kapasitas adaptif itu tepat maka kondusif pula untuk mengurangi derajat sensitivitas sehingga merupakan modal dasar untuk pengembangan kapasitas adaptasi jangka menengah-panjang.[14]
Adaptasi terhadap perubahan iklim mengacu pada penyesuaian yang dilakukan sebagai respon terhadap pengaruh yang timbul akibat kondisi iklim aktual atau yang diperkirakan akan terjadi agar mampu bertahan dan jika memungkinkan dapat memanfaatkan kesempatan untuk berkembang. Terdapat berbagai tipe adaptasi berdasarkan sifatnya: adaptasi autonomous vs terencana, adaptasi antisipatif vs reaktif, dan adaptasi individual vs kolektif (masyarakat). Meskipun berbeda-beda namun sasaran umumnya adalah mengarah pada minimalisasi risiko akibat iklim, dalam arti meningkatkan resiliensi dan mengurangi kerentanan terhadap kondisi iklim yang tidak kondusif.[14]
Kapasitas adaptasi merupakan resultante dari kinerja unsur-unsur pembentuknya. Identifikasi tingkat keragaman kapasitas adaptasi didekati melalui identifikasi unsur- unsur pembentuknya yang meliputi: (1) penguasaan pengetahuan di bidang usahatani, utamanya yang terkait dengan kiat-kiat menghadapi efek perubahan iklim; (2) penguasaan teknologi usahatani yang lebih produktif dan adaptif terhadap variabilitas iklim; (3) keterampilan manajerial usahatani; (4) kemampuan mengakses informasi iklim; (5) kemampuan mengakses pasar masukan dan keluaran usahatani; (6) tersedianya kelembagaan ”risk sharing” di tingkat petani, khususnya yang terkait dengan risiko iklim; (7) tersedianya infrastruktur yang kondusif untuk mengurangi potensi dampak perubahan iklim; (8) tersedianya kelembagaan yang efektif untuk mengatasi bencana akibat iklim ekstrem dan mempercepat proses pemulihannya; (9) bijakan pemerintah yang secara khusus menangani dampak bencana iklim ekstrem dan proses pemulihannya; (10) kebijakan perlindungan usaha di bidang usahatani pangan; dan (11) kebijakan perlindungan aset-aset penting dan sumberdaya pertanian pangan strategis.[11]
Mengacu pada FAO 2011, strategi peningkatan kapasitas adaptasi petani melalui pendekatan planned adaptation harus tetap mempertimbangkan autonomous adaptation yang telah berkembang pada komunitas petani. Simpul-simpul kritisnya adalah sebagai berikut: (1) fokus pada ketahanan pangan; (2) pengarusutamaan (mainstreaming) adaptasi terhadap perubahan iklim dalam pembangunan (pertanian); (3) sifatnya adalah demand driven yang berbasis sumberdaya lokal; (4) aksi adaptasi harus disinergikan dengan mitigasi; (5) teknologinya berbasis pendekatan ekosistem; (6) gerakan sosialnya berbasis pada partisipasi dan perlu memperhatikan aspek gender; (7) sistem koordinasinya berbasis kemitraan yang konteksnya bersifat lintas wilayah dan bervisi jangka panjang.[17]
- ^ Hadad, Ismid (2010). Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan: Sebuah Pengantar Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban. Jakarta: LP3ES. Parameter
|url-status=
yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan) - ^ FAO. 2008. Climate Change and Food Security: A Framework Document. Food and Agriculture Organization of The United Nations (FAO). Rome.
- ^ a b c FAO. 2007. Adaptation to Climate Change in Agriculture, Forestry and Fisheries: Perspective, Framework and Priorities, Interdepartmental Working Group on Climate Change, Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nations. Rome.
- ^ Trenberth, K. E., J. T. Houughton, and L. G. Meira Filho. 1995. The Climate System: an Overview In: Climate Change 1995. The Science of Climate Change. Contribution of Working Group I to the Second Assessment Report of The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Cambridge University Press.
- ^ Kusmiadi, Edi (2014). “Pengertian dan Sejarah Perkembangan Pertanian” (PDF). Pengantar Ilmu Pertanian.
- ^ a b c d Julisman (2013). “Dampak dan Perubahan Iklim di Indonesia”. Geografi. 5 (1): 44.
- ^ a b Surmaini, Elza., Eleonora Runtunuwu dan Irsal Las (2011). “Upaya Sektor Pertanian dalam Menghadapi Perubahan Iklim” (PDF). Litbang Pertanian. 30 (1).
- ^ Cline, William (2007). “Global Warming and Agriculture: Impact Estimates by Country”. Choice Reviews Online. 45 (04): 97–98.
- ^ Rao, G. S. L. H. V Prasada (2008). Agricultural Meteorology. Thrissur: PHI Learning Pvt. hlm. 58–61. Parameter
|url-status=
yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan) - ^ Fischer, G., M and H.V. Velthuizen (2002). Climate Change and Agricultural Vulnerability. Luxemberg, Austria: IIASA. Parameter
|url-status=
yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan) - ^ a b c Sumaryanto (2012). “Strategi Peningkatan Kapasitas Adaptasi Petani Tanaman Pangan Menghadapi Perubahan Iklim”. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 30 (2).
- ^ IPCC. 2001. Climate change 2001: impacts, adaptation, and Vulnerability. Cambridge University Press, New York.
- ^ Asian Development Bank (ADB) and International Food Policy Research Institute (IFPRI). 2009. Building Climate Resilience in the Agriculture Sector in Asia and the Pacific. Mandaluyong City, Philippines. ADB, 2009.
- ^ a b c Lasco R.D, C.M.D. Habito, R.J.P. Delfino, F.B. Pulhin, and R.N. Concepcion. 2011. Climate Change Adaptation for Smallholder Farmers in Southeast Asia. World Agroforestry Centre, Philippines. 65p.
- ^ Brooks N, Adger WN. 2005. Assessing and Enhancing Adaptive Capacity, In Adpatation Policy Frameworks for Climate Change: Developing Strategies, Policies and Measures, Lim B, Spanger-Siegfried E, Burton I, Malone E, and Hug S (eds), Cambridge University Press, Cambridge.
- ^ ECA. 2009. Shaping Climate-Resilient Development: A Framework for Decision- Making, A Report of the Economics of Climate Adaptati on (ECA) Working Group, ClimateWorks Foundation, Global Environment Facility, European Commission, McKinsey & Company, The Rockefeller Foundation, Standard Chartered Bank and Swiss Re.
- ^ FAO. 2011. FAO-ADAPT: FAO’S Frame Work Programme on Climate Change Adaptation. Food and Agriculture Organization of The United Nations (FAO). Rome.