JAKARTA – Memori hari ini, 13 tahun yang lalu, 24 Maret 2010, Mantan Ibu Negara, Hasri Ainun Besari Habibie dirawat intensif di Jerman. Ia dirawat karena komplikasi penyakit. Apalagi dokter telah mengdiagnosis Ainun memiliki tumor di paru-paru.
Kondisi itu membuat suaminya, Bacharuddin Jusuf (B.J) Habibie sedih bukan main. Ia pun terus menemani istrinya melalui fase kritis. Sebelumnya, kisah Habibie dan Ainun dianggap segenap rakyat Indonesia sebagai perwujudan sempurna cinta sejati.
Habibie dan Ainun kerap dijadikan sebagai sosok panutan dalam wujud cinta sejati. Khalayak pun memahami benar kedekatan keduanya mulai terjalin sejak berada di bangku sekolahan. Keduanya tercatat menjadi siswa di SMA Kristen Dago, Bandung.
Habibie dan Ainun dikenal sebagai insan cerdas. Habibie dikenal sebagai bintang kelas dalam bidang ilmu pasti. Sedang Ainum andal dalam segala bidang. Kecerdasan keduanya berbuah manis. Seisi kelas –termasuk guru – kerap menjodohkan keduanya. Sekalipun keduanya masih malu-malu.
Keinginan Habibie mengenal lebih jauh Ainun sempat terganggu. Keduanya dipisahkan oleh mimpi masing-masing. Habibie ingin melanjutkan cita-cita menjadi ahli kedirgantaraan. Ia berkuliah dan bekerja di Jerman. Sedang Ainun memiliki minat melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI).
Kalau sudah jodoh takkan ke mana. Takdir pun mempertemukan keduanya kembali. Habibie yang kala itu baru mendapatkan cuti pulang ke Indonesia tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Mereka pun berpacaran dan keduanya menikah pada 1962.
Semenjak itu keduanya berjanji merasakan susah senang bersama. Dukungan Ainun pun tiada dua. Ia mampu memotivasi Habibie menjadi sosok besar. Bahkan, hingga Habibie dapat menjadi Presiden Indonesia.
“Di samping itu, ia harus melanjutkan pelajarannya guna meraih gelar Doktor. Ainun istrinya harus ikut ke Jerman, karena itu ia harus terlebih dahulu mengurus dan melengkapi surat-surat dari R.S. Cipto Mangunkusumo maupun dari Pemerintah Indonesia.”
“Waktu berpamitam B.J. Habibie dipesan oleh mertuanya: Ainun istrimu telah jadi hakmu. Ibu minta jangan sampai istrimu dibikin sakit hati. Habibie kemudian berjanji: Oh tidak Bu. Kalau saya membuat sakit hati Ainun, seperti saya bikin sakit hati saya sendiri,” ungkap A. Makmur Makka dalam buku Mr. Crack Dari Parepare (2018).
Kesetiaan Ainun kepada Habibie tak perlu diragukan. Ia mampu mendampingi suaminya dalam masa-masa sulit sekalipun. Begitu pula sebaliknya. Apalagi kala kondisi Ainun sedang sakit parah pada awal 2010. Habibie membawa Istrinya mendapat perawatan intensif di Jerman pada 24 Maret 2010.
Habibie merawat istrinya di Rumah Sakit Ludwig-Maximilians-Universitat, Klinikum Gro`hadern, Munchen, Jerman. Kondisi istrinya pun demikian memburuk. Sebab, Ainun memiliki sejumlah penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Tumor di paru-paru, utamanya. Penyakit itu membuat Ainun terpaksa melalui fase-fase kritisnya di Jerman hingga ia meninggal dunia pada 22 Mei 2010.
“Dokter mendiagnosis ada tumor di paru-paru Ainun. Ia tidak direkomendasikán tinggal di daerah tropis dengan tingkat kelembaban yang tinggi Dokter baru memberikan izin Ainun kembali ke Indonesia jika kesehatannya sudah membaik. Sementara, Ainun harus menjalani operasi 12 kali untuk mengangkat känker ovariumnya, karena kanker ini sudah menyebar ke perut.”
“Habibie sudah berupaya keras untuk mengobati istri tercintanya itu. Namun, Tuhan berkata lain. Pada hari Sabtu, 22 Mei 2010 jam 17.30 waktu Munchen, Ainun menghembuskan napas terakhirnya. Pada Senin pagi, 24 Mei 2010, jenazah Ainun dibawa ke bandara sekitar pukul 07.00 waktu Munchen (pukul 12.00 WIB), karena harus melalui penyelesaian administrasi sebelum diterbangkan ke Indonesia,” terang Jonar T. H. Situmorang dalam buku B.J. Habibie: Si Jenius (2017).